Kamis, 10 November 2011

Artikel Heidy & Akhsa

Indonesia Masih Impor Kakao 22.967 ton

            Bubuk kakao (coklat) yang selama ini kita ketahui memiliki bahan utama biji kakao. Kakao merupakan tumbuhan tahunan yang tingginya bisa mencapai 10 m.

            Direktur Eksekutif Asosiasi Kakao Indonesia (Aiki) Sindra Wijaya mengataakan hampir 80%-90% diekspor dalam bentuk biji kakao, sedangkan sisanya diolah oleh industri pengolahan di dalam negeri.[1]

            Sungguhpun Indonesia dikenal sebagai negara produsen kakao terbesar di dunia, tapi produktivitas dan mutunya masih sangat rendah. Rata-rata produktivitasnya hanya 660 kg/ha, sedangkan Pantai Gading produktivitasnya sudah mencapai 1,5 ton/ha. Sehingga hal ini menyebabkan citra kakao Indonesia dinilai kurang baik di pasaran internasional. Rendahnya citra dan mutu kakao Indonesia tidak saja menimbulkan kerugian yang cukup besar di pasaran dunia terutama Amerika Serikat, tapi juga berdampak terhadap pendapatan petani dan produsen kakao. Potensi kerugian harga biji kakao Indonesia ke Amerika Serikat akibat mutu rendah sekitar US$ 301,5/ton. Jika ekspor biji kakao Indonesia ke Amerika rata-rata 130.000 ton/tahun, maka terdapat potensi kehilangan devisa sebesar US$ 39.195 juta/th atau setara dengan Rp 360,6 milyar/th.[2]

            Tanaman kakao yang merupakan komoditas unggulan petani di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), setelah jambu mete, kelapa, vanili, cengkeh, dan kopi. Komoditas ini mulai di kenal di Flores sekitar tahun 1960, yang diperkenalkan oleh misi Katolik. Menyusul melalui program nasional, pemerintah pada awal tahun 1970, memperluas areal penanaman kakao.[3]

            Terkait dengan produksi kakao di Sulsel yang semakin menurun, putra daerah ini yang juga mantan Ketua Askindo Sulsel mengatakan, produksi kakao di Sulsel dan Sulbar rata-rata hanya 500 kg/ha/tahun. Padahal, idealnya sekitar 1,5 ton/ha/tahun.[4]

            Di tengah naiknya harga kakao internasional dan juga untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri, pemerintah berencanan untuk menerapkan tarif Bea Keluar (BK) untuk ekspor kakao ke luar negeri. Hal tersebut disampaikan oleh Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi ketika ditemui di kantornya, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Jumat (14/8/2009).[5]

            Produksi kakao Kabupaten Jember terus menurun dan saat ini diperkirakan hanya tinggal sekitar Rp600.000 ton per tahun. Sebelumnya wilayah itu adalah salah satu sentra produksi bisa mengekspor kakao ke Amerika dan Eropa dalam jumlah besar.[6]





[1] Sepudin Zuhri, “Indonesia Masih Impor Kakao 22.967 ton”, http://bisnis.com/
[2] Agroindustri, Sosialisasi Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional”, http://agroindustri.blogdetik.com
[3] Agroindustri, “Upaya Mendongkrak Produksi Kakao di Flores”, http://agroindustri.blogdetik.com
[4] Agroindustri, “Ekspor Kakao 2008 Turun 20 Persen”, http://agroindustri.blogdetik.com
[5] Agroindustri, “Pemerintah akan Terapkan Bea Keluar Kakao”, http://agroindustri.blogdetik.com
[6] Dwi Wahyuni, “Produksi Kaakao di Jember Merosot”, http://agroindustri.blogdetik.com

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More